MAHASISWA SUPER
Alkisah di suatu tempat ada
sekelompok suku terkebelakang yang masih kanibal. Hal itu membuat warga yang
tinggal di sekitar tempat itu menjadi cemas dan ketakutan. Kemudian mereka
melaporkan hal itu kepada pemerintah setempat. Akhirnya pemerintah mengambil
kebijakan; anak kepala suku kanibal itu diberi pelatihan atau pendidikan
singkat secara gratis. Dengan harapan, sebagai calon pengganti ayahnya menjadi
kepala suku, nantinya dia akan bisa member
perubahan terhadap sukunya. Dia nantinya akan memberitahukan kepada rakyatnya
bahwa menjadi kanibal itu tidak baik. Ada banyak makanan lain yang lebih baik
dan lebih enak dibandingkan daging manusia. Dia diperkenalkan dengan daging
sapi, kerbau, kambing ayam itik dan lain sebagainya. Dia juga diajarkan “table manner”. Intinya bagaimana suku
tersebut tidak kanibal lagi.
Setelah pelatihan selesai, si anak
kepala suku tersebut kembali ke kampungnya. Masyarakat di kampungnya bertanya,
apa yang didapatkannya selama pendidikannya.
"Banyak yang aku
dapatkan," katanya. "Aku diajarkan memasak dengan baik. Aku diajarkan
cara makan yang baik; bagaimana cara menggunakan sendok, garpu, sumpit, dll.
Jadi, aku akan ajarkan ke kalian semua cara memasak daging manusia dengan baik,
bagaimana cara menggunakan sendok, garpu, sumpit tsb untuk makan daging
manusia."
Ternyata pendidikan yang didapatkan
oleh anak kepala suku itu tidak berhasil merubah karakter dasar atau
kekanibalan anak kepala suku tsb. Bahkan pendidikan yang didapatkannya hanya
membuat dia akan lebih bisa menikmati kekanibalannya.
Pertanyaannya sekarang adalah
apakah cerita diatas hanya dongeng saja, atau malah benar-benar terjadi
walaupun bukan konteks kanibal?
Konsep dari pendidikan atau edukasi
adalah seperti yang kita baca dalam buku-buku filsafat; ilmu yang didapat oleh
tiap pembelajar akan membuatnya menjadi cinta terhadap kebenaran. Semakin
banyak yang dipelajari oleh seseorang maka semakin suka, semakin cinta orang
tersebut untuk melakukan sesuatu yang benar. Artinya jika proses pendidikan
berjalan dengan baik, akan muncullah produk-produk pendidikan yang mempunyai
karakter seperti yang tercantum dalam Undang-Undang no. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.
Artinya pendidikan bukan hanya
sebuah proses pencerdasan otak dari para peserta didik semata, tapi lebih dari
itu adalah pendalaman konsep dan aplikasi relijius, pematangan sikap dan
kepribadian, pengasahan skill atau keterampilan, dan lain sebagainya yang
membuat orang yang menjalankan proses pendidikan tersebut semakin sesuai dengan
konsep cinta kebenaran yang artinya bahwa proses pendidikan yang dijalaninya
telah berhasil membangun karakter orang tersebut menjadi lebih baik.
Lantas bagaimana asusmsi kita
terhadap pendidikan di perguruan tinggi? Apakah perguruan tinggi dengan peserta
didik yang mendapat sebutan “maha” siswa telah perhasil menjadi pabrik pencetak
orang-orang yang telah membuat perubahan dalam karakternya, dari buruk menjadi
baik, dari baik menjadi lebih baik? Pertanyaan ini logis sekali terlontarkan
karena sebelum memasuki dunia perguruan tinggi, para mahasiswa tersebut sudah
menjalani pendidikan dasar dan menengah selama duabelas tahun. Katakan bahwa
ternyata duabelas tahun itu tidak berbekas bagi sebagian dari mereka, maka
setidaknya ketika mereka mulai menyandang prediket mahasiswa, maka saat itu
muncul sebuah consciousness
(kesadaran) bahwa ini saatnya saya akan melakukan perubahan. Tentu saja konteks
perubahan disini adalah perubahan yang tidak hanya sesuai dengan undan-undang
diatas, bahkan sesuai dengan tujuan kerasulan Muhammad SAW.; memperbaiki akhlak
(karakter). Dengan adanya sesadaran untuk melakukan perubahan tersebut, tentu
memang layaklah mahasiswa mendapat sebutan the
agent of change, agen perubahan. Bagaimana bisa mahasiswa itu akan bisa
merubah dunia, jika ternyata dia belum mampu bahkan belum berniat untuk merubah
dirinya sendiri.
Lebih mengerucut ke bawah, kita
coba lihat tepat dimana mading ini bernaung, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan,
bahwa disini ada mahasiswa “super”. Mahasiswa calon pendidik plus ada tambahan
islami. Artinya para mahasiswa yang sedang belajar disini adalah orang-orang
yang nantinya akan menjadi orang-orang yang tidak hanya diharapkan cerdas
otaknya, tapi juga baik karakternya untuk bisa menjadi model, panutan bagi
siswanya nantinya. Sebagai guru agama misalnya, apakah si mahasiswa (atau
mahasiswi) hanya tahu materi-materi pembelajaran agama sebagai mata ajar di
dalam kelas saja tanpa ada aplikasi dari konsep keagamaan (baca: keislaman) itu
dalam kehidupannya sehari-hari atau bagaimana? Sedikit berani, kita coba lihat
sebuah contoh, seorang mahasiswi FTK prodi PAI mempunyai akun Facebook; profile picture-nya foto mesranya dengan
cowoknya, statusnya berpacaran. Astaghfirullahal aziim. Mungkin yang prodinya
bukan PAI merasa aman; toh aku bukan calon guru agama. Lupakah dia bahwa
disamping mata kuliah kejuruan yang dia dapat, dia juga mendapat mata kuliah
agama yang tidak sedikit. Anda sedang disiapkan untuk menjadi guru kimia atau
ekonomi yang islami.
Para mahasiswa yang dididik secara
andragogis (pendidikan terhadap orang dewasa) dan bukan pedagogis (pendidikan
terhadap anak-anak) tentunya bisa mempunyai thought
(pemikiran) terhadap apa yang sedang dia lakukan dan apa yang ingin dia
capai. Nah, sinkron tidak keduanya itu? Tentunya keingnan untuk menjadi guru
yang baik dan hebat ada pada diri kita masing-masing. Pasti keinginan tersebut
bisa tercapai dengan mulai melakukan perubahan; menimbulkan kesadarn untuk menjadi
lebih baik. Atau pendidkan akan hanya akan menjadi suatu jalan untuk
meningkatkan strata social; bahwa kita jadi sarjana demi kerja yang lebih baik?
Jika demiak adanya, tentu anak kepala suku kanibal tadi tidak sendirian; dia
punya teman memang tidak kanibal, tapi sama-sama tidak ada perubahan karakter
dari pendidikan yang dilaluinya.
Mudah-mudahan tulisan ini bukan
bentuk kelancangan dari penulis, tapi bukti sense
of belonging (rasa memiliki) dan sense
of loving (rasa sayang) terhadap kampus milik kita bersama ini yang tentu
saja mempunyai semanagt untuk terus maju dan berkembang tentunya secara kualitas
dan kuantitas. Mari berubah secara karakter (berhijrah). Semoga Allah mudahkan
jalan bagi kita untuk itu, Aamiin.
(Subhan
Shabri, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang, pelaku dan
pemerhati pendidikan). Tulisan ini juga diposting di blog penulis subhanshabri.blogspot.com Kritik dan saran silahkan sampaikan ke email subhanshabri@gmail.com
Catatan:
Suatu
hari redaktur mading ini bertanya kepada penulis, “Sir, is it okay for you to
contribute your writing in our wall magazine?” Saya langsung jawab, “Why not?”
Toh saya sudah banyak tulis artikel. Tapi ternyata artikel yang diminta tentang
peran pendidkan dalam pembentukan karakter. “Wah, nulis lagi nih”, pikir saya. “But
it’s okay. I like writing.” Dan inilah tulisan cepat disela-sela sibuk menulis
hasil penelitian tesis. (disempat-sempatin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar