Sabtu, 11 Januari 2020

Buah Kebaikan

Suatu kali saat saya maish mengajar di sebuah madrasah aliyah, ada seorang siswa saya yang tidak mengerjakan tugas di kelas. Ketika saya tanya, dia mengaruk kepala sambil berkata lirih "p*nt*k" (maaf saya tidak bs mengedit bagian ini karena ini bagian inti cerita). Walaupun lirih saya bisa mendengarkannya. Saya kaget dan marah, beraninya dia mengucapkan itu didepan saya. Siswa tsb saya suruh keluar dan mengatakan, jangan pernah masuk ke kelas saya sampai kamu datang dengan orang tua mu untuk meminta maaf.
Anak tsb tidak masuk ke kelas saya hampir dua minggu. Sampai suatu hari waka kesiswaan datang ke saya. "Mister, anak itu datang kepada saya. Dia merasa menyesal, dia mau minta maaf tapi takut, dan orang tuanya bekerja di daerah lain dan tidak mungkin untuk datang. Ibuk waka memohon keikhlasan saya untuk memaafkan siswa tsb.
"Saya tidak bisa terima Buk. Beraninya dia berkata begitu!" Jawab saya. "Anak itu saya maafkan asal org tuanya datang."
"Mister lupa ya kalau dia orang Baser*h," (nama satu daerah di sekitar kota saya yang dalam kesehariannya mereka sering mengucapkan kata p*nt*k dan tidak menganggap kata tsb sesuatu yg tabu).
"Kalau di kampungnya terserah dia Buk, dan ini di sekolah", kata saya bertahan. Tapi Ibuk waka tetap memohon dan saya segan dan maklum.
Akhirnya saya bilang suruh anak itu menghadap saya dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi. Dia saya maafkan.

Satu semester berlalu, si siswa tadi memang bermasalah dalam belajar, termasuk dalam pelajaran saya. Nilai akhir semestinya tidak tuntas. Tapi mengingat dia pernah bermasalah dengan saya (dan sudah saya maafkan), saya beri dia nilai tuntas; saya takut nanti saya disebut pendendam. Padahal ada beberapa temannya yang tidak tuntas dan tetap saya beri nilai tidak tuntas.
Sepertinya dia selamat gara-gara dia pernah bermasalah dengan saya.

Dua tahun berlalu...
Saya melanjutkan kuliah di sebuah PTN di Pekanbaru. Pada suatu hari saya ada urusan di kampus, pas waktu itu libur perkuliahan sehingga kampus cukup sepi. Saya harus memfotokopi beberapa dokumen. Dan listrik sekampus itu mati. Waduh, bagaimana ini, fotokopi itu hrs saya serahkan hari itu juga, dan saya harus segera kembali ke Taluk Kuantan. Dalam kebingungan sedang mencari solusi, seseorang menyapa saya. "Bapak, lagi ngapain?" Saya menoleh. Dia adalah siswa yang pernah bermasalah dengan saya dulu yang nilainya selamat gara-gara saya takut dibilang pendendam.
Saya ceritakan kepadanya masalah saya.
"Ayo pak, saya antar Bapak ke tempat fotokopi yang ada jensetnya. Ada di kampus lain kira-kira dua kilometer dari kampus ini. Ayo Pak, naik ke motor saya."
Dengan rasa sangat bersyukur saya naik ke motornya.
Dalam perjalanan dia bercerita, "Saya sangat berterimakasih kepada Bapak atas memaafkan saya, bahkan memberi saya nilai tuntas. Mungkin ini cara saya membalas kebaikan Bapak. Dan jika tempat fotokopi itu tutup, saya akan carikan tempat fotokopi lain."
I was speechless. Ini cara Allah merangkai kita untuk berbuat kebaikan dan suka memaafkan. Apa yang dilakukan si siswa tsb pas bertemu saya, tapi waktu di madrasah itu saya tidak memaafkan dia?
Saya bersyukur pernah memaafkannya, membantu (nilainya), dan kemudian saya bersyukur dibantu oleh siswa tsb.
Ada buah dari setiap kebaikan yg pernah kita tanam (lakukan).
Kadang kita harus maklum dengan keadaan org lain dan tidak kaku dengan aturan yang ada.

A true story by Mr SS.
(Hasil kerja ketukan dua jari jempol dalam bus travel dalam perjalanan dari Padang ke Taluk Kuantan. Kejadian yang saya alami di kampus seharian tadi dengan segala suka (haru) dan duka (kecewa) nya membuat saya ingat kejadian ini.

Jan 10, 2020