Senin, 18 November 2019


MAHASISWA SUPER
Alkisah di suatu tempat ada sekelompok suku terkebelakang yang masih kanibal. Hal itu membuat warga yang tinggal di sekitar tempat itu menjadi cemas dan ketakutan. Kemudian mereka melaporkan hal itu kepada pemerintah setempat. Akhirnya pemerintah mengambil kebijakan; anak kepala suku kanibal itu diberi pelatihan atau pendidikan singkat secara gratis. Dengan harapan, sebagai calon pengganti ayahnya menjadi kepala suku,  nantinya dia akan bisa member perubahan terhadap sukunya. Dia nantinya akan memberitahukan kepada rakyatnya bahwa menjadi kanibal itu tidak baik. Ada banyak makanan lain yang lebih baik dan lebih enak dibandingkan daging manusia. Dia diperkenalkan dengan daging sapi, kerbau, kambing ayam itik dan lain sebagainya. Dia juga diajarkan “table manner”. Intinya bagaimana suku tersebut tidak kanibal lagi.
Setelah pelatihan selesai, si anak kepala suku tersebut kembali ke kampungnya. Masyarakat di kampungnya bertanya, apa yang didapatkannya selama pendidikannya.
"Banyak yang aku dapatkan," katanya. "Aku diajarkan memasak dengan baik. Aku diajarkan cara makan yang baik; bagaimana cara menggunakan sendok, garpu, sumpit, dll. Jadi, aku akan ajarkan ke kalian semua cara memasak daging manusia dengan baik, bagaimana cara menggunakan sendok, garpu, sumpit tsb untuk makan daging manusia."
Ternyata pendidikan yang didapatkan oleh anak kepala suku itu tidak berhasil merubah karakter dasar atau kekanibalan anak kepala suku tsb. Bahkan pendidikan yang didapatkannya hanya membuat dia akan lebih bisa menikmati kekanibalannya.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah cerita diatas hanya dongeng saja, atau malah benar-benar terjadi walaupun bukan konteks kanibal?
Konsep dari pendidikan atau edukasi adalah seperti yang kita baca dalam buku-buku filsafat; ilmu yang didapat oleh tiap pembelajar akan membuatnya menjadi cinta terhadap kebenaran. Semakin banyak yang dipelajari oleh seseorang maka semakin suka, semakin cinta orang tersebut untuk melakukan sesuatu yang benar. Artinya jika proses pendidikan berjalan dengan baik, akan muncullah produk-produk pendidikan yang mempunyai karakter seperti yang tercantum dalam Undang-Undang no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Artinya pendidikan bukan hanya sebuah proses pencerdasan otak dari para peserta didik semata, tapi lebih dari itu adalah pendalaman konsep dan aplikasi relijius, pematangan sikap dan kepribadian, pengasahan skill atau keterampilan, dan lain sebagainya yang membuat orang yang menjalankan proses pendidikan tersebut semakin sesuai dengan konsep cinta kebenaran yang artinya bahwa proses pendidikan yang dijalaninya telah berhasil membangun karakter orang tersebut menjadi lebih baik.
Lantas bagaimana asusmsi kita terhadap pendidikan di perguruan tinggi? Apakah perguruan tinggi dengan peserta didik yang mendapat sebutan “maha” siswa telah perhasil menjadi pabrik pencetak orang-orang yang telah membuat perubahan dalam karakternya, dari buruk menjadi baik, dari baik menjadi lebih baik? Pertanyaan ini logis sekali terlontarkan karena sebelum memasuki dunia perguruan tinggi, para mahasiswa tersebut sudah menjalani pendidikan dasar dan menengah selama duabelas tahun. Katakan bahwa ternyata duabelas tahun itu tidak berbekas bagi sebagian dari mereka, maka setidaknya ketika mereka mulai menyandang prediket mahasiswa, maka saat itu muncul sebuah consciousness (kesadaran) bahwa ini saatnya saya akan melakukan perubahan. Tentu saja konteks perubahan disini adalah perubahan yang tidak hanya sesuai dengan undan-undang diatas, bahkan sesuai dengan tujuan kerasulan Muhammad SAW.; memperbaiki akhlak (karakter). Dengan adanya sesadaran untuk melakukan perubahan tersebut, tentu memang layaklah mahasiswa mendapat sebutan the agent of change, agen perubahan. Bagaimana bisa mahasiswa itu akan bisa merubah dunia, jika ternyata dia belum mampu bahkan belum berniat untuk merubah dirinya sendiri.
Lebih mengerucut ke bawah, kita coba lihat tepat dimana mading ini bernaung, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, bahwa disini ada mahasiswa “super”. Mahasiswa calon pendidik plus ada tambahan islami. Artinya para mahasiswa yang sedang belajar disini adalah orang-orang yang nantinya akan menjadi orang-orang yang tidak hanya diharapkan cerdas otaknya, tapi juga baik karakternya untuk bisa menjadi model, panutan bagi siswanya nantinya. Sebagai guru agama misalnya, apakah si mahasiswa (atau mahasiswi) hanya tahu materi-materi pembelajaran agama sebagai mata ajar di dalam kelas saja tanpa ada aplikasi dari konsep keagamaan (baca: keislaman) itu dalam kehidupannya sehari-hari atau bagaimana? Sedikit berani, kita coba lihat sebuah contoh, seorang mahasiswi FTK prodi PAI mempunyai akun Facebook; profile picture-nya foto mesranya dengan cowoknya, statusnya berpacaran. Astaghfirullahal aziim. Mungkin yang prodinya bukan PAI merasa aman; toh aku bukan calon guru agama. Lupakah dia bahwa disamping mata kuliah kejuruan yang dia dapat, dia juga mendapat mata kuliah agama yang tidak sedikit. Anda sedang disiapkan untuk menjadi guru kimia atau ekonomi yang islami.
Para mahasiswa yang dididik secara andragogis (pendidikan terhadap orang dewasa) dan bukan pedagogis (pendidikan terhadap anak-anak) tentunya bisa mempunyai thought (pemikiran) terhadap apa yang sedang dia lakukan dan apa yang ingin dia capai. Nah, sinkron tidak keduanya itu? Tentunya keingnan untuk menjadi guru yang baik dan hebat ada pada diri kita masing-masing. Pasti keinginan tersebut bisa tercapai dengan mulai melakukan perubahan; menimbulkan kesadarn untuk menjadi lebih baik. Atau pendidkan akan hanya akan menjadi suatu jalan untuk meningkatkan strata social; bahwa kita jadi sarjana demi kerja yang lebih baik? Jika demiak adanya, tentu anak kepala suku kanibal tadi tidak sendirian; dia punya teman memang tidak kanibal, tapi sama-sama tidak ada perubahan karakter dari pendidikan yang dilaluinya.
Mudah-mudahan tulisan ini bukan bentuk kelancangan dari penulis, tapi bukti sense of belonging (rasa memiliki) dan sense of loving (rasa sayang) terhadap kampus milik kita bersama ini yang tentu saja mempunyai semanagt untuk terus maju dan berkembang tentunya secara kualitas dan kuantitas. Mari berubah secara karakter (berhijrah). Semoga Allah mudahkan jalan bagi kita untuk itu, Aamiin.
(Subhan Shabri, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang, pelaku dan pemerhati pendidikan). Tulisan ini juga diposting di blog penulis subhanshabri.blogspot.com Kritik dan saran silahkan sampaikan ke email subhanshabri@gmail.com

Catatan:
Suatu hari redaktur mading ini bertanya kepada penulis, “Sir, is it okay for you to contribute your writing in our wall magazine?” Saya langsung jawab, “Why not?” Toh saya sudah banyak tulis artikel. Tapi ternyata artikel yang diminta tentang peran pendidkan dalam pembentukan karakter. “Wah, nulis lagi nih”, pikir saya. “But it’s okay. I like writing.” Dan inilah tulisan cepat disela-sela sibuk menulis hasil penelitian tesis. (disempat-sempatin)